Senin, 02 Desember 2013

Proses Bisnis dan Flowchart dalam Siklus Pembelian Kredit

1.1. Latar Belakang Masalah 
Di era globalisasi ini persaingan dalam bisnis perbankan sangat ketat. 
Persaingan tersebut tidak hanya terjadi antar bank, tetapi persaingan juga datang 
dari lembaga keuangan lain yang berhasil mengembangkan produk-produk 
keuangan baru. Persaingan dan perkembangan yang cukup pesat pada usaha 
perbankan tersebut menjadikan masing-masing lembaga perbankan harus 
berlomba untuk memenangkan persaingan bisnis. 
Persaingan antar bank tersebut tentunya akan lebih menguntungkan nasabah 
karena nasabah dapat memilih berbagai jasa perbankan yang ditawarkan. Kualitas 
produk dan layanan perbankan akan menentukan apakah lembaga perbankan 
tersebut mampu bersaing di pasar global atau tidak. Syarat sederhana yang harus 
dipenuhi oleh lembaga perbankan tersebut adalah kemampuan perusahaan 
perbankan tersebut dalam menyediakan produk dan jasa sesuai dengan kebutuhan 
dan keinginan masyarakat. Manajemen sebuah bank dituntut kecepatan dan 
ketepatan dalam merespon apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Sebagai 
perusahaan jasa, perusahaan perbankan harus berorientasi pada kualitas pelayanan 
yang diberikan. Pelayanan yang diberikan harus mampu menciptakan kepuasan 
bagi para pelanggannya. Adapun manfaat dari kepuasan pelanggan tersebut adalah 
meningkatkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan pelanggan, 
memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, dapat mendorong terciptanya

loyalitas pelanggan dan memungkinkan terciptanya rekomendasi dari mulut ke 
mulut yang menguntungkan bagi perusahaan, sehingga semakin banyak orang 
membeli dan menggunakan produk perusahaan (Dendawijaya, 2003). 
Persaingan bisnis di bidang perbankan yang nampak akhir-akhir ini adalah 
persaingan dalam penyaluran, khususnya dalam pembiayaan Usaha Mikro Kecil 
Menengah (UMKM). Di Indonesia sendiri UMKM menempati jumlah mayoritas 
dari total unit usaha yang ada. Akan tetapi kebanyakan dari para pengusaha 
UMKM masih mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha, dan secara garis 
besar kesulitan yang dihadapi berkisar masalah permodalan, persaingan pasar dan 
bahan baku yang sulit didapat. Permodalan nampaknya menjadi alasan yang 
klasik yang menghadang perkembangan UMKM. Kebanyakan pelaku bisnis 
memutar usahanya dengan mengandalkan usahanya dengan modal sendiri. Ada 
pula sebagian kecil yang berusaha menambah modalnya dengan melakukan 
pinjaman ke bank atau lembaga non bank (Saptono dan Widiyatmanta,2006). 
Perkembangan perekonomian nasional dan perubahan lingkungan strategis 
yang dihadapi dunia usaha termasuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan usaha 
kecil menengah saat ini sangat cepat dan dinamis. BPR sebagai badan usaha 
senantiasa harus diarahkan dan didorong untuk ikut berperan secara nyata 
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat agar mampu mengatasi 
ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, sehingga lebih mampu berperan 
sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat. Oleh karena itu sudah saatnya untuk 
menempatkan sektor informal (seperti petani kecil di pedesaan, pedagang di 
pasar-pasar tradisional, penjual rokok dan pedagang warung kelontong) di barisan

terdepan dalam penetapan kebijakan Bank Indonesia (Putting the Last First). 
Terkait dengan hal tersebut, serta dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan 
sektor informal, peran dan kontribusi BPR sebagai ujung tombak lembaga 
keuangan daerah dalam pembiayaan sektor informal tentunya menjadi sangat 
penting. BPR dianggap yang paling dekat dan paling mengetahui nasabahnya 
dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya (Bramantyo & Ronny, 2007). 
Salah satu faktor untuk menilai kesehatan suatu BPR adalah dengan melihat 
rasio NPL (Non Perfoming Loan), dihitung dari total kredit yang masuk kategori 
tidak lancar, dibagi total kredit yang diberikan. Rasio maksimal yang ditentukan 
oleh Bank Indonesia, yaitu 5% sehingga bila suatu BPR memiliki rasio diatas 5 % 
maka dapat dianggap bahwa terjadi kegagalan penerapan strategi pemberian kredit 
yang efisien dan efektif. 
Berdsarkan PBI No. 8/19/PBI/2006, Aktiva Produktif adalah penyediaan 
dana BPR dalam Rupiah untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Kredit, 
Sertifikat Bank Indonesia dan Penempatan Dana Antar Bank. Kredit adalah 
penyediaan dana atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan 
persetujuan/kesepakatan pinjam-meminjam antara BPR dengan pihak lain yang 
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu 
tertentu dengan membayar sejumlah bunga/denda yang diperjanjikan atau 
pembagian hasil/keuntungan. 
Kulitas Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit yang selanjutnya disebut 
Kolektibilitas Kredit adalah penggolongan/pengelompokan nasabah atau 
peminjam berdasarkan kemampuan nasabah/peminjam untuk membayar pokok
dan bunga kredit yang telah diterimanya dari bank, sehingga kolektibilitas 
pinjaman dapat dipakai untuk mengetahui sehat tidaknya pinjaman yang 
diberikan oleh Bank kepada nasabahnya. 
Kolektibilitas Kredit atau Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit 
ditetapkan dalam 4 (empat) golongan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia 
No.8/19/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006, yaitu : Lancar, Kurang Lancar, 
Diragukan dan Macet. Penilaian terhadap Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit 
pada prinsipnya didasarkan pada ketepatan pembayaran kembali pokok dan bunga 
dan/atau kemampuan peminjam ditinjau dari kondisi usaha ybs. 
Nilai NPL BPR di Propinsi Jawa Tengah juga berada di atas Nilai NPL BPR 
di Indonesia, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1 dan Tabel 1.2., dimana nilai 
NPL sepanjang tahun 2007 di atas 10%. Berdasarkan Standar Satistik Perbankan 
Bank Indonesia (2008) pada Lampiran 2, Propinsi Jawa Tengah merupakan 
propinsi dengan jumlah kredit tidak lancar BPR terbesar di Indonesia. 

Tabel 1.1. 
Laporan Kolektibilitas Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Propinsi 
Jawa Tengah 

Bulan 
Jumlah 
Kredit Tidak Lancar 
(M) 
Jumlah 
Kredit 
(M) 
NPL (%) 
Januari 2007 634 4.405 14,39 
Februari 2007 655 4.518 14,50 
Maret 2007 654 4.626 14,14 
April 2007 661 4.705 14,05 
Mei 2007 654 4.799 13,63 
Juni 2007 655 4.914 13,33 
Juli 2007 663 4.977 13,27 
Agustus 2007 671 5.123 13,10 
Sepetember 2007 670 5.266 12,72 
Oktober 2007 674 5.234 12,88 
November 2007 663 5.303 12,50 
Desember 2007 614 5.280 11,63 
Sumber : Data diolah dari Standar Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 2008 


Tabel 1.2. 
Laporan Kolektibilitas Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia 

Bulan 
Jumlah 
Kredit Tidak Lancar 
 (M) 
Jumlah 
Kredit 
(M) 
Rasio NPL 
(%) 
Januari 2007 1.706 17.117 9,96 
Februari 2007 1.751 17.566 9,97 
Maret 2007 1.744 17.925 9,73 
April 2007 1.750 18.242 9, 59 
Mei 2007 1.743 18.656 9,34 
Juni 2007 1.748 19.169 9,12 
Juli 2007 1.742 19.509 8,93 
Agustus 2007 1.735 19.887 8,73 
Sepetember 2007 1.734 20.434 8,49 
Oktober 2007 1.774 20.329 8,73 
November 2007 1.735 20.584 8,43 
Desember 2007 1.639 20.540 7,98 
Sumber : Standar Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, 2008 

Upaya yang berkesinambungan dalam menangani pinjaman bermasalah 
(Non Performing Loan - NPL) terus dilakukan terutama dari segi pemberian kredit 
oleh manajemen BPR di Propinsi Jawa Tengah yang bekerja sama dengan seluruh 
karyawan baik di kantor pusat maupun di kantor cabang. Beberapa upaya yang 
telah dilakukan untuk menekan dan menurunkan pertumbuhan NPL antara lain 
melakukan evaluasi terhadap kredit yang dipasarkan baik dari tingkat suku bunga 
maupun jangka waktunya dengan membandingkannya dengan BPR pesaing untuk 
kemudian menyusun strategi pemberian yang lebih efektif dan efisien, deteksi dini 
atas fasilitas kredit yang diberikan yang termasuk klasifikasi-klasifikasinya 
sehingga dapat merestrukturisasi atas debitur-debitur yang masih mempunyai 
prospek. Untuk yang terakhir ini sebelumnya telah dilakukan analisis atas prospek 
usaha debitur, kemampuan keuangan debitur dalam membayar kembali utang 
yang direstrukturisasi, dan itikad baik debitur untuk menyelesaikan pinjamannya 
tersebut, meningkatkan nilai-nilai personal SDM yang ada dengan memberikan 
pelatihan atau reward bagi karywan berprestasi. 
Bramantyo dan Ronny (2007) melakukan penelitian terhadap 223 BPR dan 
917 nasabah sampel yang tersebar di 7 wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa 
Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan 
Nusa Tenggara Barat dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang 
mempengaruhi tingginya NPL Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia. Hasil 
penelitian menunjukkan terdapat 12 penyebab terjadinya NPL baik dari kondisi 
internal BPR maupun dari kondisi eksternal BPR. Variabel-variabel tersebut 
adalah sebagai berikut:  
24 

• Integritas pemilik, pengurus dan pegawai BPR berupa intervensi yang 
bersumber pada tiga hal: ketidakjelasan prosedur, ketidakdisiplinan 
pencatatan, dan kurangnya perhatian dan pengawasan pemilik. 
• Kompetensi pemilik dan pengurus, baik terhadap ketentuan Bank 
Indonesia maupun dalam menjalankan proses bisnis BPR. 
• Pergantian direksi BPR yang dapat menyebabkan perpindahan nasabah 
dengan kolektibilitas yang lancar. 
• Kompetensi pegawai BPR dalam menerapkan prosedur, penerapan 5C, 
pengawasan dan penanganan kredit bermasalah, dan administrasi. 
• Pembayaran dengan pemotongan gaji dari tabungan, sekalipun efektif 
tetapi menimbulkan potensi penyimpangan. 
• Pembayaran kredit dengan jemputan dapat berdampak negatif. 
• Strategi pemasaran BPR yang masih lemah dan perlu mendapat perhatian. 
• Perlunya peningkatan penggunaan analisis pemberian kredit yang lebih 
baik dan konsisten. 
• Pengikatan agunan yang tidak hati-hati. 
• Tidak mempertimbangkan kondisi nasabah 
• Kerjasama pemberian kredit dengan pihak luar. 
• Sistem dan mekanisme pengawasan dan program recovery kredit. 

Strategi pemberian kredit merupakan salah satu fungsi strategis yang 
dimiliki bank dan fungsi ini pula yang seringkali menjadi penyebab menurunnya 
pendapatan suatu bank. Dimana semakin tinggi rasio NPL suatu bank maka akan 
mengurangi pendapatan suatu bank dikarenakan banyaknya debitur yang 
menunggak pembayaran kredit. Pemberian kredit memang merupakan kegiatan 
yang beresiko tinggi. Karena itu dalam upaya mengatasi tingginya NPL, BPR di 
Jawa Tengah semakin tajam menganalisis dan memprediksi suatu permohonan 
kredit untuk dapat meminimalkan risiko yang terkandung di dalam penyaluran 
kredit tersebut. Informasi tentang calon nasabah debitur merupakan faktor krusial 
dalam menentukan tingkat risiko yang bakal dihadapi bank. Penentuan eligible 
atau bankable tidaknya seseorang atau suatu perusahaan tergantung seberapa 
banyak informasi akurat yang dimiliki bank tentang calon debitur. Selain itu 
adalah peningkatan mutu dari SDM yang menunjang strategi pemberian kredit di 
BPR di Jawa Tengah. Beberapa kelemahan dari BPR di Jawa Tengah saat ini 
terutama yang sedang berkembang adalah (Bramantyo & Ronny, 2007) : 
a. BPR di Propinsi Jawa Tengah masih menghadapi beberapa kelemahan 
dalam pengembangan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan 
perkembangan pasar, sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat 
menghambat kemampuan bersaing dengan BPR lain. 
b. BPR di Propinsi Jawa Tengah masih menghadapi beberapa kelemahan 
dalam pengembangan teknologi yang secara langsung berdampak 
terbatasnya jenis pelayanan dengan teknologi tinggi yang dapat ditawarkan 
kepada nasabah, sehingga masih rendahnya kemampuan untuk bersaing 
dengan BPR lain. Selain itu terbatasnya teknologi juga menghambat proses 
kerja bagian kredit, sehingga hasil yang didapat tidak dapat maksimal.  
26 

c. BPR di Propinsi Jawa Tengah masih perlu menyempurnakan ketentuan 
pengembangan SDM terutama divisi kredit agar kesiapan regenerasi staf 
untuk memangku jabatan menjadi lebih baik dan penyiapan staf yang 
lebih professional akan terlaksana terus menerus. 
d. Masih rendahnya frekuensi supervisi terhadap operasional bagian-bagian 
yang ada sehingga dapat memperlambat proses pelaksanaan pemberian 
kredit dan membuka peluang-peluang pelanggaran yang dapat merugikan 
BPR di Propinsi Jawa Tengah. 
e. Masih rendahnya tingkat kehati-hatian dalam pemberian kredit, sehingga 
menambah jumlah kredit yang bermasalah di BPR di Propinsi Jawa 
Tengah yang akhirnya secara finansial mengurangi jumlah pendapatan 
yang masuk. 

Dalam menentukan strategi, perusahaan perlu memperhatikan kondisi baik 
kondisi internal maupun kondisi eksternal perusahaan. Langkah yang harus 
dilakukan adalah mengumpulkan data eksternal dan internal. Kondisi internal 
perusahaan meliputi pemasaran dan distribusi, penelitian dan pengembangan, 
manajemen produksi dan operasi, sumber daya dan karyawan perusahaan serta 
keuangan dan akuntansi. Sedangkan kondisi eksternal perusahaan mencakup 
kondisi umum yaitu sosioekonomi, teknologi dan pemerintah, lingkungan industri 
yaitu sektor pelanggan, sektor pemasok dan sektor pesaing, serta lingkungan 
internasional. Kondisi internal memberikan gambaran kekuatan dan kelemahan  
27 

sedangkan kondisi eksternal memberikan gambaran peluang dan ancaman bagi 
perusahaan (Antiningrum, 2003). 
Keberadaan kredit macet yang tinggi itu mampu memengaruhi kinerja 
perbankan secara umum. Tingginya NPL pada sejumlah BPR merupakan imbas 
dari tahun-tahun sebelumnya, yakni sejak terdapat kenaikan harga BBM tahun 
2005. Faktor penyebab terjadinya kredit macet antara lain menurunnya aktivitas 
perekonomian yang kemudian memengaruhi bisnis para pengusaha. Daya beli 
mereka semakin rendah sehingga kesulitan untuk melakukan pembayaran 
angsuran. Selain itu ada pula bank yang mengejar target pengucuran kredit 
sehingga melakukan ekspansi berlebihan dalam menyalurkankan dananya ke 
nasabah. Bisa juga disebabkan kurangnya pengawasan bank terhadap 
perkembangan kinerja debitur. Oleh karena itu para pengelola BPR diminta untuk 
membuat action plan yang bisa menahan pembengkakan kredit macet (Batubara, 
2000). 
Kalangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Propinsi Jawa Tengah, saat ini, 
berupaya mengurangi penyaluran kredit baru dan fokus penyelesaian kredit. 
Langkah ini dilakukan untuk menekan tingkat kredit bermasalah atau non 
performing loan (NPL) mengingat rasio NPL pada tahun 2007 masih di atas 
toleransi maksimal yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Beberapa langkah 
pembenahan yang dilakukan BPR di Propinsi Jawa Tengah adalah dengan 
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pelatihan sertifikasi 
profesi, di mana melalui kerja sama Perbarindo dengan Bank Indonesia, kegiatan 
pelatihan bagi para direktur BPR terus dilakukan.  
28 

Buruknya rasio NPL tersebut tentunya cukup memprihatinkan mengingat 
berbagai upaya telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan 
peran dan kontribusi BPR dalam melayani UMKM seperti beberapa kebijakan 
Bank Indonesia yaitu pelaksanaan Linkage Program, penyelenggaraan 
workshop/seminar pembiayaan sektor produktif dan relaksasi ketentuan dalam 
Paket Oktober-November 2006. 
Untuk mampu berperan sebagai badan usaha yang tangguh dan mandiri, 
BPR melalui usaha pemberian kreditnya harus mampu meningkatkan efektivitas 
strategi pemberian kredit dan berusaha sebaik mungkin mengurangi risiko 
kegagalan kredit. Jika diteliti lebih dalam, kegagalan pemberian kredit, dilihat dari 
tingginya NPL terutama disebabkan oleh kurang efektif dan efisiennya strategi 
yang digunakan. Menurut COSO (1997) strategi pemberian kredit yang diterapkan 
yang ada pada BPR bertujuan untuk: 
1. Penjagaan dan pengawasan terhadap kekayaan BPR, khususnya di bidang 
perkreditan dapat berjalan dengan baik untuk menghindarkan 
penyelewengan baik dari intern maupun ekstern. 
2. Kebenaran data administratif di bidang perkreditan serta penyusunan 
dokumen-dokumen perkreditan yang baik. 
3. Peningkatan efisiensi di dalam pengelolaan operasional sesuai rencana. 
4. Menjaga dan memastikan pelaksanaan peraturan dan perundangan serta 
kebijakan yang telah ditetapkan dalam buku pedoman, atau surat edaran 
telah dilaksanakan dengan baik.  
29 

Pentingnya strategi ini selain karena semakin besar dan kompleksnya 
operasi perusahaan, juga karena strategi ini merupakan suatu metode dan prosedur 
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meminimalkan segala bentuk 
kecurangan dan penyelewengan yang mungkin dapat merugikan perusahaan. 
Tujuan daripada strategi yang digunakan harus diterapkan pada semua tahap 
perkreditan dan dapat tercapai jika faktor-faktor pendukung strategi itu sendiri 
benar-benar dipenuhi (Arens dan Loebbecke ,2000). 
Efektivitas strategi pemberian kredit erat kaitannya dengan tujuan kredit 
yaitu profitability dan safety. Profitability menyangkut keuntungan dari bunga 
kredit, sedangkan safety menyangkut kelancaran dari pengembalian kredit. Di 
samping itu apabila kita perhatikan unsur-unsur yang menyebabkan kegagalan 
kredit pada dasarnya merupakan kegagalan daripada strategi yang digunakan. 
Kegagalan kredit juga merupakan kegagalan penerapan strategi pemberian kredit 
yang efektif dan efisien, ini akan tercermin dalam tingkat kolektibilitas yang 
dicapai (Arens dan Loebbecke ,2000). 
Dengan tercapainya tujuan dari strategi pemberian kredit, hal itu akan 
mendukung terciptanya prinsip-prinsip keputusan pemberian kredit yang sehat 
yang meliputi berbagai aspek mengenai peminjam, untuk memutuskan apakah 
layak diberikan kredit atau tidak. Strategi yang berjalan baik dapat menunjang 
performa kredit bank tersebut. Selanjutnya prinsip-prinsip keputusan kredit yang 
sesuai akan mendukung tercapainya pelaksanaan dan penerapan prinsip 5C yang 
meliputi karakter, kemampuan, modal, jaminan, kondisi ekonomi demi 
terwujudnya pemberian kredit yang efektif dan efisien. Selain terpenuhinya  
prinsip dan prosedur pemberian kredit, suatu strategi pemberian kredit dapat 
dikatakan efektif dan efisien apabila kredit tersebut dapat kembali sesuai waktu 
yang ditetapkan dengan sejumlah bunga yang telah ditentukan. Prioritas 
pemberian kredit pun menentukan keefektifan dan keefisienan pemberian kredit, 
jika kredit yang diberikan betul-betul tepat sasaran dan tepat guna, maka 
efektivitas dan efisiensi strategi pemberian kredit akan tercapai dengan kata lain 
NPL yang dicapai akan rendah yaitu dibawah standar maksimal, yaitu 5% 
(Kasmir, 2003). 
Adapun studi empirik terdahulu yang mendukung terhadap penelitian yang 
akan dilakukan disajikan dalam tabel .....

Kerangka Pemikiran Penelitian Empirik Proses
Persetujuan
Kredit
Syarat Pemberian
Kredit
Kapasitas
Account Officer
Kondisi Internal
BPR
Proses
Penagihan Kredit
Proses
Pengendalian
Kredit
Peranan
Manajemen
Kondisi Calon Debitur
BPR
Integritas
Calon Debitur
Pemanfaatan
Kredit Oleh
Calon Debitur
Keadaan
Calon Debitur Kredit
Kondisi Lingkungan
BPR
Faktor
Persaingan Usaha
Perkembangan
Perekonomian Faktor Alam
Tingkat Suku
Bunga Kredit
Jangka Waktu
Kredit
Cara Pemasaran
Kredit
Strategi
Pemberian Kredit
Kerjasama
Dengan
Pihak Luar
Informasi dan
Komunikasi Nilai-Nilai Personal
H2
H3
H1
H4
Sumber : dikembangkan untuk tesis in


Tidak ada komentar:

Posting Komentar